Manusia pada dasarnya
akan selalu menilai apapun yang dilihat, didengar, maupun yang dirasakannya
meskipun hanya sekilas, baik disadari ataupun tidak. Hal inilah yang kemudian
akan memicu otak kita untuk berpikir apa yang harus dilakukan saat itu. Sebagai
contoh umum, dalam keadaan tertentu kita akan langsung mengambil tindakan cepat
yang merupakan perintah cepat dari otak untuk menanggapi apa yang kita lihat, dengar, atau rasakan. Inilah yang disebut dengan tindakan
“refleks”. Intinya adalah manusia akan selalu punya penilaian secara pribadi
terhadap seseorang ataupun sesuatu yang dilihat, didengar, maupun yang
dirasakannya.
Pada judul kali ini
Saya menyatakan bahwa seruan “katakan tidak pada rasis” (Say No To Racism) sama
dengan ungkapan “jangan menilai sebuah buku dari sampulnya” (Don’t Judge a Book
by it’s Cover). Sudah diketahui secara umum bahwa arti dari ungkapan
“jangan menilai buku dari sampulnya” adalah suatu pesan bahwa kita jangan
menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Dalam artian bahwa tidak
selamanya penilaian kita terhadap apa yang kita lihat itu adalah sebuah
kebenaran. Pada situasi atau keadaan tertentu kebanyakan orang hanya akan
menampilkan dirinya sebagaimana dia ingin terlihat di hadapan orang lain, bukan
dirinya yang sebenarnya. Maksud sebenarnya dari ungkapan ini bukan semata-mata
menilai penampilan luar seperti berpakaian saja. Namun, ungkapan ini memiliki
arti yang lebih dalam. Yaitu perilaku seseorang. Terkadang seseorang akan
bersikap baik di depan kita pada kesempatan tertentu. Sementara pada kesempatan
lain orang tersebut akan bersikap jahat bahkan sangat jahat pada kita. Pada
kasus seperti ini, kita harus lebih teliti dalam mengamati dan kemudian
menerjemahkan sifat yang sebenarnya dari orang tersebut. Secara singkat, dapat
kita katakan bahwa perilaku seseorang pada waktu tertentu itu adalah “sampul
buku” dan sifat asli dari orang tersebut adalah “isi dari buku itu”.
Kaitan antara seruan
“katakan tidak pada rasis” dan ungkapan “jangan menilai sebuah buku dari sampulnya”
dalam tulisan kali ini adalah mengenai latar belakang, asal-usul, ras, suku,
dan agama. Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari banyak ras, suku, dan
agama. Tiap bayi yang baru lahir di Indonesia sudah langsung berada pada ras,
suku, dan agama tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan tempat dia lahir
dan tumbuh, terutama keluarga. Ras dan suku seseorang tidak dapat dirubah
bagaimanapun caranya sejak lahir sampai meninggal dunia karena hal ini
dipengaruhi oleh orang tuanya. Ras dan suku dari orang tua akan menurun pada
anaknya. Tidak peduli sekeras apapun sang anak berusaha, tetap saja tidak akan
mampu untuk merubah ras dan sukunya yang sudah melekat pada dirinya sejak
lahir. Berbeda dengan agama, ketika sang anak ini beranjak dewasa, maka dia
mampu untuk menentukan pilihannya sendiri. Bahkan ketika lahir dia sudah
memeluk agama yang dipeluk oleh kedua orang tuanya, dia tetap bisa memilih
agama untuk dipeluknya sesuai dengan pandangannya ketika dewasa. Sudah banyak
kisah dari orang yang pada akhirnya memeluk agama yang berbeda dengan orang
tuanya.
Seruan “katakan tidak
pada rasis” ini tertuju pada ras dan suku yang tidak dapat dirubah. Untuk
mempermudah dalam memahami penjelasan saya, ada baiknya kita mengetahui
terlebih dahulu pengertian dari ras dan suku. Seringkali orang mengartikan
kedua hal ini dalam makna yang sama berdasarkan pada pandangan bahwa kedua
faktor ini saling mempengaruhi satu sama lain. Cara yang paling mudah untuk
membedakan antara pengertian ras dan suku adalah dengan menggunakan pengertian
biologi dan sosiologi. Kedua bidang ilmu pengetahuan ini sudah sangat jelas
perbedaannya. Kita hanya perlu meletakkan ras pada pengertian biologi dan suku
pada sosiologi. Singkatnya, ras adalah perbedaan antara individu yang satu
dengan individu yang lain berdasarkan sisi biologisnya seperti warna kulit,
warna rambut, pola rambut, dan bagian tubuh lainnya pada manusia. Sedangkan
suku adalah hal yang bersifat kultur atau budaya. Saat ini kata suku lebih
popular dengan sebutan etnik. Suku atau etnik ini dipengaruhi oleh lingkungan
tempat individu tersebut tumbuh dan berkembang. Pada dasarnya, suku atau etnik
ini lebih tertuju pada kelompok masyarakat yang menempati lingkungan geografis
tertentu yang berbeda dengan kelompok lainnya.
Sesuai dengan judul
tulisan saya kali ini yaitu “katakan tidak pada rasis = jangan menilai sebuah
buku dari sampulnya” (say no to racism = don’t judge a book by it’s cover).
Saya memiliki pandangan bahwa seruan “katakan tidak pada rasis” ini merupakan
semboyan utama yang terus digaungkan pada era globalisasi ini. Dalam
persamaannya dengan ungkapan “jangan menilai buku dari sampulnya” ini saya
meletakkan ras dan suku pada perumpamaan sebagai “sampul buku” dan sifat dari
individu adalah “isi buku”. Artinya bahwa kita tidak bisa memvonis sifat
seseorang hanya berdasarkan ras dan suku karena tiap individu itu sudah pasti
berbeda dengan individu yang lain. Sebagai contoh nyata, saya akan
mengungkapkan pernyataan rasis yang sudah menjadi pandangan umum antara Orang
Jawa dan Orang Ambon. Seringkali saya mendengar pernyataan dari orang Ambon
bahwa orang Jawa itu pelit, kikir, dan selalu menjadikan uang sebagai prioritas
utama untuk berhubungan dengan orang lain tanpa memperdulikan kesulitan yang
dialami oleh orang lain. Namun, pada kenyataannya banyak teman-teman saya yang
merupakan Orang Ambon justru sering dibantu oleh teman-teman saya yang
merupakan Orang Jawa ketika sedang mengalami masalah yang sulit termasuk saat
mengalami kesulitan dalam keuangan. Sebaliknya, orang Jawa juga umumnya
memiliki pandangan bahwa “orang Ambon itu adalah orang yang kasar dan jahat”. Pandangan yang sangat tidak rasional mengingat angka kriminalitas yang menunjukkan angka lebih besar di Jawa daripada di Ambon. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “apakah Rian si penjagal itu orang
Ambon?”, apakah Amrozi si teroris itu adalah orang Ambon?”.
Dari contoh tersebut
maka dapat kita ambil sebuah kesimpulan yaitu tiap individu tidak dapat kita
nilai hanya berdasarkan ras dan sukunya saja. Hal yang mendasari pernyataan
saya ini adalah kenyataan bahwa individu yang satu berbeda dengan individu yang
lainnya. Bahkan, dalam satu keluarga pun dapat kita lihat bahwa sifat seorang
kakak bisa sangat berbeda bahkan bertolak belakang dengan sifat adiknya. Oleh
karena itu, marilah kita membuang segala pandangan bodoh tentang ras dan suku
yang sudah tertanam sebagai penyakit utama pengganggu persatuan bangsa. Kita
adalah bangsa Indonesia yang memiliki berbagai macam ras dan suku yang
seharusnya menjadi kebanggaan, bukan malah menjadi kelemahan. Sebagai orang
yang mengaku berpendidikan, seharusnya kita malu jika sampai saat ini kita
masih memiliki pandangan yang primordial dan rasis.
No comments:
Post a Comment