Wednesday, February 18, 2015

Say No To Racism = Don’t Judge a Book by it’s Cover

      Manusia pada dasarnya akan selalu menilai apapun yang dilihat, didengar, maupun yang dirasakannya meskipun hanya sekilas, baik disadari ataupun tidak. Hal inilah yang kemudian akan memicu otak kita untuk berpikir apa yang harus dilakukan saat itu. Sebagai contoh umum, dalam keadaan tertentu kita akan langsung mengambil tindakan cepat yang merupakan perintah cepat dari otak untuk menanggapi apa yang kita lihat, dengar, atau rasakan. Inilah yang disebut dengan tindakan “refleks”. Intinya adalah manusia akan selalu punya penilaian secara pribadi terhadap seseorang ataupun sesuatu yang dilihat, didengar, maupun yang dirasakannya.
      Pada judul kali ini Saya menyatakan bahwa seruan “katakan tidak pada rasis” (Say No To Racism) sama dengan ungkapan “jangan menilai sebuah buku dari sampulnya” (Don’t Judge a Book by it’s Cover).  Sudah diketahui secara umum bahwa arti dari ungkapan “jangan menilai buku dari sampulnya” adalah suatu pesan bahwa kita jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Dalam artian bahwa tidak selamanya penilaian kita terhadap apa yang kita lihat itu adalah sebuah kebenaran. Pada situasi atau keadaan tertentu kebanyakan orang hanya akan menampilkan dirinya sebagaimana dia ingin terlihat di hadapan orang lain, bukan dirinya yang sebenarnya. Maksud sebenarnya dari ungkapan ini bukan semata-mata menilai penampilan luar seperti berpakaian saja. Namun, ungkapan ini memiliki arti yang lebih dalam. Yaitu perilaku seseorang. Terkadang seseorang akan bersikap baik di depan kita pada kesempatan tertentu. Sementara pada kesempatan lain orang tersebut akan bersikap jahat bahkan sangat jahat pada kita. Pada kasus seperti ini, kita harus lebih teliti dalam mengamati dan kemudian menerjemahkan sifat yang sebenarnya dari orang tersebut. Secara singkat, dapat kita katakan bahwa perilaku seseorang pada waktu tertentu itu adalah “sampul buku” dan sifat asli dari orang tersebut adalah “isi dari buku itu”.

      Kaitan antara seruan “katakan tidak pada rasis” dan ungkapan “jangan menilai sebuah buku dari sampulnya” dalam tulisan kali ini adalah mengenai latar belakang, asal-usul, ras, suku, dan agama. Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari banyak ras, suku, dan agama. Tiap bayi yang baru lahir di Indonesia sudah langsung berada pada ras, suku, dan agama tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan tempat dia lahir dan tumbuh, terutama keluarga. Ras dan suku seseorang tidak dapat dirubah bagaimanapun caranya sejak lahir sampai meninggal dunia karena hal ini dipengaruhi oleh orang tuanya. Ras dan suku dari orang tua akan menurun pada anaknya. Tidak peduli sekeras apapun sang anak berusaha, tetap saja tidak akan mampu untuk merubah ras dan sukunya yang sudah melekat pada dirinya sejak lahir. Berbeda dengan agama, ketika sang anak ini beranjak dewasa, maka dia mampu untuk menentukan pilihannya sendiri. Bahkan ketika lahir dia sudah memeluk agama yang dipeluk oleh kedua orang tuanya, dia tetap bisa memilih agama untuk dipeluknya sesuai dengan pandangannya ketika dewasa. Sudah banyak kisah dari orang yang pada akhirnya memeluk agama yang berbeda dengan orang tuanya.
      Seruan “katakan tidak pada rasis” ini tertuju pada ras dan suku yang tidak dapat dirubah. Untuk mempermudah dalam memahami penjelasan saya, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari ras dan suku. Seringkali orang mengartikan kedua hal ini dalam makna yang sama berdasarkan pada pandangan bahwa kedua faktor ini saling mempengaruhi satu sama lain. Cara yang paling mudah untuk membedakan antara pengertian ras dan suku adalah dengan menggunakan pengertian biologi dan sosiologi. Kedua bidang ilmu pengetahuan ini sudah sangat jelas perbedaannya. Kita hanya perlu meletakkan ras pada pengertian biologi dan suku pada sosiologi. Singkatnya, ras adalah perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain berdasarkan sisi biologisnya seperti warna kulit, warna rambut, pola rambut, dan bagian tubuh lainnya pada manusia. Sedangkan suku adalah hal yang bersifat kultur atau budaya. Saat ini kata suku lebih popular dengan sebutan etnik. Suku atau etnik ini dipengaruhi oleh lingkungan tempat individu tersebut tumbuh dan berkembang. Pada dasarnya, suku atau etnik ini lebih tertuju pada kelompok masyarakat yang menempati lingkungan geografis tertentu yang berbeda dengan kelompok lainnya.
      Sesuai dengan judul tulisan saya kali ini yaitu “katakan tidak pada rasis = jangan menilai sebuah buku dari sampulnya” (say no to racism = don’t judge a book by it’s cover). Saya memiliki pandangan bahwa seruan “katakan tidak pada rasis” ini merupakan semboyan utama yang terus digaungkan pada era globalisasi ini. Dalam persamaannya dengan ungkapan “jangan menilai buku dari sampulnya” ini saya meletakkan ras dan suku pada perumpamaan sebagai “sampul buku” dan sifat dari individu adalah “isi buku”. Artinya bahwa kita tidak bisa memvonis sifat seseorang hanya berdasarkan ras dan suku karena tiap individu itu sudah pasti berbeda dengan individu yang lain. Sebagai contoh nyata, saya akan mengungkapkan pernyataan rasis yang sudah menjadi pandangan umum antara Orang Jawa dan Orang Ambon. Seringkali saya mendengar pernyataan dari orang Ambon bahwa orang Jawa itu pelit, kikir, dan selalu menjadikan uang sebagai prioritas utama untuk berhubungan dengan orang lain tanpa memperdulikan kesulitan yang dialami oleh orang lain. Namun, pada kenyataannya banyak teman-teman saya yang merupakan Orang Ambon justru sering dibantu oleh teman-teman saya yang merupakan Orang Jawa ketika sedang mengalami masalah yang sulit termasuk saat mengalami kesulitan dalam keuangan. Sebaliknya, orang Jawa juga umumnya memiliki pandangan bahwa “orang Ambon itu adalah orang yang kasar dan jahat”. Pandangan yang sangat tidak rasional mengingat angka kriminalitas yang menunjukkan angka lebih besar di Jawa daripada di Ambon. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “apakah Rian si penjagal itu orang Ambon?”, apakah Amrozi si teroris itu adalah orang Ambon?”.
     Dari contoh tersebut maka dapat kita ambil sebuah kesimpulan yaitu tiap individu tidak dapat kita nilai hanya berdasarkan ras dan sukunya saja. Hal yang mendasari pernyataan saya ini adalah kenyataan bahwa individu yang satu berbeda dengan individu yang lainnya. Bahkan, dalam satu keluarga pun dapat kita lihat bahwa sifat seorang kakak bisa sangat berbeda bahkan bertolak belakang dengan sifat adiknya. Oleh karena itu, marilah kita membuang segala pandangan bodoh tentang ras dan suku yang sudah tertanam sebagai penyakit utama pengganggu persatuan bangsa. Kita adalah bangsa Indonesia yang memiliki berbagai macam ras dan suku yang seharusnya menjadi kebanggaan, bukan malah menjadi kelemahan. Sebagai orang yang mengaku berpendidikan, seharusnya kita malu jika sampai saat ini kita masih memiliki pandangan yang primordial dan rasis. 

No comments:

Post a Comment