Gunung merupakan salah satu tempat yang
sangat mungkin untuk dikunjungi oleh orang-orang yang ingin menikmati keindahan
alam. Selain banyak pohon yang tumbuh di sana hingga mampu menyediakan udara sejuk untuk dihirup, pemandangan di gunung juga sangat menyejukkan mata
untuk dilihat. Tak heran jika banyak orang yang menghabiskan waktu liburannya
untuk melakukan pendakian dan bermalam di gunung. Di Indonesia, banyak gunung
yang menjadi objek wisata bagi para pendaki. Bahkan, di Pulau Jawa yang
merupakan pulau dengan jumlah penduduk yang paling banyak di Indonesia masih
memiliki banyak gunung yang masih asri untuk dinikmati. Sebut saja Gunung
Arjuno, Gunung Semeru, Gunung Penanggungan, Gunung Wilis, dan masih banyak
lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak pula orang yang
menjadi pendaki. Tujuan utama para pendaki ini tidak lain adalah untuk
menikmati udara yang sejuk dan pemandangan alam yang indah. Dengan bertambahnya
jumlah pendaki ini maka dapat kita lihat juga bahwa pengaruh buruk terhadap
ekosistem pegunungan ini semakin tidak terkontrol. Mulai dari permasalahan
sampah sampai pada rusaknya tumbuhan.
Pecinta alam adalah hal yang sangat
berbeda dengan pendaki. Perbedaan antara pecinta alam dan pendaki ini kemudian
menjadi samar ketika saya mendengarkan cerita tentang Mapala (Mahasiswa Pecinta
Alam) yang merupakan salah satu kegiatan ekstrakulikuler pada jenjang
perkuliahan. Sangat aneh rasanya jika mendengar pelatihan yang ditujukan bagi
mahasiswa pecinta alam ini. Ketika menjadi anggota baru, mereka akan dilatih
bagaimana cara untuk mempertahankan hidup mereka di alam bebas, bahkan ada
pelatihan khusus untuk mendaki gunung. Sungguh jauh dari bayangan saya tentang
Mapala ini. Dalam pandangan mereka, mungkin “pecinta alam” yang dimaksud adalah
suka menghabiskan waktu diluar rumah, menghabiskan waktu untuk menjelajahi alam
bebas. Pecinta alam menurut pandangan saya seharusnya sesuai dengan makna
harfiahnya. Pecinta alam adalah orang yang mencintai alam, dalam hal Mapala,
ini juga seharusnya berarti kumpulan mahasiswa yang mencintai alam. Kebanyakan
kegiatan dari Mapala ini juga malah kebanyakan dihabiskan untuk mendaki gunung,
camping, dan lain-lain yang pada dasarnya menjelajahi alam. Ketika saya duduk
di bangku SMP, saya sempat berpikir bahwa Mapala ini akan cenderung menjadi
organisasi mahasiswa yang selalu peduli dengan apa yang terjadi dengan alam,
melakukan kampanye tentang lingkungan. Namun, kenyataan yang saya lihat saat ini
sungguh sangat berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Setelah melihat keadaan
saat ini, saya lebih cenderung untuk menyimpulkan bahwa mahasiswa yang
tergabung dengan Mapala ini adalah mahasiswa yang suka tantangan dan suka
menjelajahi alam, bukan mahasiswa yang cinta alam. Materi yang disuguhkan dalam
Mapala ini juga akan lebih cocok ditujukan kepada pendaki gunung, bukan pecinta
alam.
Perlu digaris-bawahi bahwa tujuan utama
para pendaki ini adalah untuk menikmati keindahan alam. Bukan berarti bahwa
mereka adalah orang yang peduli pada lingkungan (alam). Para pendaki akan
mendapatkan apa yang menjadi tujuannya mendaki gunung ketika mereka sampai di
gunung itu. Namun, apa yang ditinggalkan pada gunung ini juga sudah pasti akan
menjadi pengaruh bagi gunung itu sendiri. Para pendaki ini sudah pasti
mempersiapkan pendakiannya. Hal yang paling utama untuk dipersiapkan sudah
pasti adalah perlengkapan untuk beristirahat serta bahan makanan. Contoh
sederhana tentang apa yang ditinggalkan oleh para pendaki ini adalah ketika
memasang tenda. Perlu tanah yang datar untuk mendirikan tenda, dan jika ada
tumbuhan rerumputan maka akan dipangkas, bahkan jika tidak dipangkas maka akan
ditindih oleh tenda yang nantinya juga akan diisi oleh pendaki. Pada keadaan
seperti ini, mungkin tidak akan memberikan pengaruh buruk yang fatal jika hal
itu berlangsung dalam jangka waktu yang singkat dan jumlah pendaki yang
sedikit. Namun, apa jadinya jika jumlah pendaki banyak dan waktu yang
dihabiskan lebih banyak? Semakin lama waktu yang dihabiskan, maka semakin
banyak pula asupan makanan yang dibutuhkan oleh pendaki. Mayoritas pendaki akan
memilih makanan instan yang lebih tahan lama dan mudah diolah untuk dimakan
ketika melakukan pendakian. Otomatis akan menghasilkan sampah yang sebanding
dengan bahan makanan yang digunakan. Sebagian pendaki akan mengumpulkan sampah
tersebut sampai akhirnya dibuang pada tempatnya ketika turun gunung nantinya.
Namun, sebagian lagi akan membuang sampah tersebut dimanapun mereka inginkan di
gunung tersebut.
Salah satu contoh nyata yang saya lihat adalah ketika melakukan pendakian di Gunung Penanggungan. Dari jauh akan
terlihat hijau dan enak dipandang mata. Namun, ketika pendakian mulai
dilakukan, di sepanjang perjalanan saya melihat banyak sampah yang didominasi
oleh sampah plastik dalam jumlah yang tidak sedikit. Rumput yang mulai tertidur
dan mengering karena digunakan pendaki sebelumnya untuk melewati rerumputan
itu. Hal inilah yang kemudian membuat saya berpikir tentang siapa sebenarnya
pendaki ini. Apakah mereka benar-benar orang yang peduli pada alam, ataukah
hanya orang-orang yang mencari kesenangan semata?
Dalam perjalanan menuju puncak gunung
penanggungan ini, saya berhenti sejenak dan menikmati keindahan pemandangannya.
Sungguh luar biasa, bisa menikmati keindahan alam dan menghirup udara yang
sejuk tanpa ada asap dari kendaraan bermotor.
Pemandangan dari Gunung Penanggungan |
Goa kecil di puncak Gunung Penanggungan |
Goa kecil di puncak Gunung Penanggungan (dilihat dari jarak dekat) |
Satu hal yang kemudian muncul dalam
pemikiran saya adalah tentang upacara kemerdekaan NKRI yang diperingati setiap
17 Agustus. Banyak pendaki yang melakukan upacara memperingati hari kemerdekaan
di atas gunung. Sudah dapat dipastikan bahwa jumlah dari pendaki yang mengikuti
acara ini tidak sedikit. Bisa anda bayangkan sendiri bagaimana dampak yang
dihasilkan dari tindakan ini.
No comments:
Post a Comment