Sunday, July 26, 2015

Masyarakat Indonesia dalam Pembangunan_[Otonomi Daerah]

     Pembangunan merupakan hal utama yang harus dilakukan jika ingin memperoleh kemajuan ke arah yang lebih baik pada suatu negara. Setiap pemerintah akan selalu melaksanakan pembangunan dan menjadikan pembangunan itu sendiri sebagai alat untuk memajukan kehidupan negara yang dipimpinnya. Singkatnya, dapat kita katakan bahwa pada suatu pemerintahan akan selalu dilaksanakan pembangunan sebagai proyek utama dari penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Pembangunan itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu langkah untuk memecahkan atau menemukan serta mengaplikasikan solusi dari permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya.
Berbicara tentang pembangunan, mungkin sebagian besar orang akan lebih memikirkan tentang perubahan fisik dan kemajuan ekonomi saja. Namun, pembangunan sebenarnya bukanlah sekedar pembangunan ekonomi dan fisik saja dan memiliki perspektif yang lebih luas.


Memang benar bahwasanya pebangunan fisik juga merupakan suatu hal yang penting juga, Sutami (era 1970-an) menyapaikan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu akan mempercepat pembangembangan suatu wilayah. Namun, aspek sosial yang seringkali terabaikan dalam pendekatan pertumbuhan ekonomi justru mendapatkan tempat yang strategis dalam suatu proses pembangunan. Pembangunan sebuah kota, wilayah, bahkan pada suatu negara seringkali berjalan tidak sesuai dengan yang direncanakan dan bahkan dapat dikatakan gagal. Sebagian besar dari kegagalan ini disebabkan karena dinamika yang berkembang di dalam masyarakat tumbuh dan berkembang secara alamiah karena masyarakat yang hidup selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengekspresikannya di dalam setiap perkembangannya
Pembangunan pada suatu negara dikatakan gagal jika tidak mampu mencapai tujuan utamanya yaitu kesejahteraan masyarakat yang merata serta menyeluruh baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pembangunan yang diselenggarakan akan terus mengalami kegagalan jika hanya bertumpu pada satu aspek saja dan tidak menyeluruh. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi pada setiap aspek kehidupan masyarakat baik itu perubahan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan, seharusnya dipandang sebagai suatu dinamika kehidupan yang akan selalu berkesinambungan satu sama lainnya. Pembangunan mengandung struktur perubahan besar, perubahan struktur ekonomi, perubahan struktur sosial, perubahan struktur budaya, perubahan struktur politik, dan perubahan struktur pendidikan, serta ikut pula mempengaruhi perubahan struktur fisik wilayah, perubahan sumber daya alam dan lingkungan hidup, perubahan teknologi, dan perubahan sistem nilai. Pembangunan juga akan membuka kemungkinan perubahan keadaan lingkungan.
Pembangunan yang ada di negara kita Indonesia, saat ini telah berubah dan berkembang dengan paham yang diharapkan dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi proses pembangunan yang di Indonesia. Perubahan sistem dan tata cara yang digunakan dalam proses pembangunan di Indonesia yang awalnya cenderung untuk bersifat sentralistik dan dihadapkan pada sistem pemerintahan yang otoriter menuju kepada sebuah sistem yang lebih bersifat demokratis dengan melibatkan masyarakat di dalamnya diharapkan mampu untuk dapat membawa perubahan dalam pembangunan yang akan datang. Kebijakan-kebijakan yang dianggap lebih efektif jika ditangani secara spesifik telah diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing dengan kebijakan otonomi daerah. Namun, pada akhirnya juga dihadapkan pada masalah baru yang lebih sulit untuk dihadapi seperti penyimpangan dalam pelaksanaan pembangunan ataupun korupsi yang tengah menjadi masalah kompleks dalam birokrasi Indonesia saat ini.
Perubahan sistem pembangunan yang awalnya bersifat sentralistik dengan sistem Up-down menjadi Bottom-up memberikan ruang kepada masyarakat untuk dapat secara langsung terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Saat ini, pembangunan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan sistem yang berasas demokrasi. Namun, pada aplikasinya secara langsung malah terjadi ketimpangan yang pada akhirnya menyulitkan masyarakat itu sendiri. Merupakan suatu hal yang benar jika kita melihat masyarakat sebagai pemegang peranan terpenting dalam pembangunan karena masyarakat itu sendiri merupakan pelaku dan sekaligus juga menjadi tujuan dari pembangunan itu sendiri.
Di Indonesia saat ini, sudah terlihat di beberapa daerah bahwasanya masyarakat ikut serta secara langsung dalam proses pembangunan. Salah satu contoh yang nyata adalah program PNPM Mandiri yang bukan hanya melibatkan masyarakat tapi juga menjadikan masyarakat sebagai penentu langkah yang akan diambil dalam pembangunan di daerahnya sendiri. Hanya saja, program ini belum menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Mungkin saja butuh waktu atau hal lain sebagai faktor pendukung untuk menerapkan program ini secara lebih total ke seluruh Indonesia.
Penerapan otonomi daerah di Indonesia memang baik pada pembagiannya, hanya saja menurut Saya kurang efektif pada aplikasinya. Hal ini disebabkan karena yang diberi wewenang sebagai pemegang keputusan utama di daerah yaitu pemerintah daerah (Bupati) masih banyak yang menyimpang dari tujuan utama pembangunan. Bahkan tidak sedikit dari para pemerintah daerah yang ada di Indonesia menjadi pelaku korupsi. Memang sulit jika menduduki jabatan tertinggi pada suatu daerah dengan sistem yang otonom seperti saat ini karena begitu banyak godaan yang datang baik internal maupun eksternal. Salah satu hal yang paling banyak muncul adalah terkait dengan keuangan karena pintu korupsi begitu lebar terbuka dan dengan kekuasaan yang dimiliki membuat pemerintah daerah semakin berkuasa. Bahkan media yang merupakan salah satu pengontrol dari pelaksanaan pemerintahan daerah otonom ini bahkan kebanyakan juga bisa dikendalikan oleh pemerintah daerah itu sendiri.
picture's by: [duwnatluvart.blogspot.com]
Dana yang ditujukan penggunaannya untuk pembangunan di daerah juga kebanyakan malah digunakan secara pribadi oleh pemerintah daerah itu sendiri. Tak heran jika pemerintah daerah kebanyakan memiliki harta kekayaan yang di atas rata-rata, memiliki mobil mewah, rumah mewah yang bahkan ada di berbagai tempat di Indonesia. Hal ini tentu saja memiliki dampak yang besar terhadap keadaan masyarakat yang awalnya belum sejahtera menjadi lebih sengsara dan miskin. Dengan melihat keadaan yang seperti ini maka kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa pemerintah daerah tersebut gagal dalam melaksanakan pembangunan karena kesejahteraan masyarakatnya tidak tercapai. Mungkin saja pemerintah daerah yang ada saat ini memiliki pemahaman bahwa pembangunan itu diselenggarakan dengan tujuan bukan untuk kesejahteraan masyarakat melainkan untuk kesejahteraan pemerintah daerah itu sendiri dan keluarganya.
Jika kita meninjau pembangunan di beberapa daerah yang ada di Pulau Jawa ini maka dapat kita lihat ada sebagian yang dapat dikatakan berhasil. Namun untuk daerah Timur Indonesia, akan lebih banyak didapati pembangunan yang berjalan pincang dan bahkan ada juga yang tidak berjalan sama sekali. Faktor kekuasaan masih menjadi pemegan utama kehidupan masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yang seharusnya menjadi hal penting yang menjadi pertimbangan malah dianggap tidak penting. Anggota DPRD yang seharusnya juga memihak masyarakat juga malah ujung-ujungnya menjadi penikmat uang rakyat dengan menempuh jalan korupsi bersama-sama dengan Bupati selaku pemerintah daerah.
Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh masyarakat dengan keadaan yang seperti saat ini. Satu hal yang paling aneh adalah pemilukada seperti sudah diatur siapa pemenangnya karena hasil akhirnya bahkan sudah dapat ditebak dengan jitu sejak awal. Saya merasa banyak hal-hal aneh lainnya yang menjadi tembok besar yang berfungsi sebagai pembatas antara pemerintah daerah dan masyarakat. Yang lebih aneh lagi adalah bahwa masyarakat bahkan sudah tau seperti inilah akhirnya. Namun, seperti yang telah Saya katakan sebelumnya bahwa masyarakat tidak mampu berbuat banyak meskipun telah mengetahui seluk beluk pemerintahan. Dengan hal-hal yang demikian maka ada satu kesimpulan yang dapat Saya ambil yaitu bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah hanyalah mimpi bagi yang merindukan kesejahteraan. Masyarakat yang ada di daerah Saya saat ini bahkan sudah kebal dan tidak terlalu mengindahkan janji-janji dan para kandidat yang berkampanye pada saat pemilukada dan hanya pasrah pada kehidupannya masing-masing.
Pembangunan yang diselenggarakan di daerah Saya kebanyakan atau mungkin juga dapat dikatakan seluruhnya dilaksanakan dengan cara yang otoriter, dengan keputusan sepihak yang pastinya berpihak pada pemerintah. Pembangunan yang diselenggarakan sesuai dengan kehendak masyarakat hanya akan dapat kita temui pada saat akhir masa jabatan pemerintah daerah atau mendekati Pemilukada selanjutnya. Sudah menjadi satu rahasia umum bahwa itu sebenarnya hanya untuk memperbaiki citranya sejenak agar mungkin dapat terpilih lagi sebagai Bupati selanjutnya.
Mungkin banyak orang yang memiliki pengetahuan luas akan berkata bahwa dalam tiap pilihan pasti ada win win solution. Mungkin juga ada benarnya, namun menurut saya itu hanyalah kata-kata yang dapat dipakai sebagai penyemangat di daerah Saya agar kita tidak menjadi orang-orang yang golput pada Pemilukada. Pemerintah yang haus kekuasaan dan mampu memanipulasi segala aktivitas yang ada dalam masyarakatnya merupakan ancaman terbesar bagi terwujudnya pembangunan dengan tujuan yang sebenar-benarnya tujuan dari pembangunan itu sendiri. Pada akhirnya masyarakat akan tetap memilih untuk memperjuangkan hidupnya masing-masing secara individu dengan sedikit harapan agar pembangunan yang diselenggarakan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pemerintah daerah merupakan pemegang kekuasaan yang seharusnya mampu untuk memahami kebutuhan masyarakatnya dan mau mendengarkan segala keluhan masyarakat serta mau mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Masyarakat sudah seharusnya menjadi pemegang peranan penting dan utama dalam sebuah pembangunan. Namun, yang terjadi di daerah Saya saat ini adalah bahwa masyarakat harus selalu mengikuti apa yang diinginkan oleh pemerintah daerah tanpa harus menolah dengan argumen selogis apapun. Jika berani melawan maka akan dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat yang lain betapa berkuasanya pemerintah daerah tersebut. Namun, Saya masih berharap bahwa masih ada pemikiran baik yang akan hadir dan merubah segala birokrasi kotor yang tersusun secara kompleks dan terbungkus rapi di seluruh jajaran pemerintahan daerah menjadi pemerintahan bersih dan mampu mencapai tujuan utama pembangunan untuk mensejahterakan masyarakatnya.

Friday, July 24, 2015

Pedestrian dan Fasilitasnya di Indonesia

    Sebelum saya membahas tentang pedestrian dan fasilitas pedestrian ini, ada baiknya kita menyamakan dulu pemahaman kita tentang pedestrian. Banyak orang yang salah mengartikan pedestrian ini dengan menyebutnya sebagai fasilitas pejalan kaki. Arti sebenarnya dari pedestrian ini adalah "pejalan kaki", bukan "fasilitas pejalan kaki" seperti trotoar, zebra cross, jembatan penyeberangan orang, dan lain sebagainya. Pedestrian ini merupakan sebuah kata dalam bahasa Inggris yang memiliki arti "pejalan kaki". Satu hal konyol yang terjadi di Indonesia saat ini adalah penulis artikel dari beberapa situs berita online malah menulis pedestrian merupakan jalur pejalan kaki. Kesimpulannya adalah, "pedestrian" adalah "pejalan kaki", sementara "fasilitas untuk pejalan kaki" itu disebut sebagai "jalur pedestrian". Marilah kita menjadi masyarakat yang bukan hanya sekedar kritis saja, tapi pastikan untuk mencari tahu kebenaran dari sumber yang "sebenar-benarnya sumber".
     Daripada menjadi orang yang "sok intelek" dan menggunakan istilah dari bahasa asing dengan pengertian yang salah, akan lebih baik kita menggunakan bahasa resmi negara kita, Bahasa Indonesia. Sekian pembahasan dasar dari pengertian pedestrian, karena saya bukan ingin membahas tentang pengertian dari pedestrian saja.
      Pelanggaran yang terjadi di Indonesia terkait dengan hak dari pejalan kaki sudah sangat sering bahkan selalu terjadi tiap hari. Hal ini sudah menjadi budaya dari pengendara kendaraan bermotor, entah roda dua, roda tiga, ataupun roda empat. Salah satu hal yang nyata dan selalu terjadi adalah ketika lampu lalu lintas (traffic light) menunjukkan warna merah, kendaraan bermotor cenderung untuk berhenti melewati garis pembatas zebra cross. Ini adalah hal sederhana yang jarang diperhatikan oleh para pengendara kendaraan bermotor. Karena saya tidak ingin menjadi orang asal tuduh, maka berikut saya tunjukkan buktinya.
photo's by: [cicakkreatip.com]

   Ini adalah pelanggaran lalu lintas yang sudah membudaya di Indonesia, bagi sebagian orang bahkan dianggap sebagai hal yang wajar. Indonesia adalah negara hukum, dan hukum yang mengatur tentang pejalan kaki itu sendiri sudah tertuang dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2009. Lebih jelas tentang hak pejalan kaki ini tertuang pada pasal 131 sebagai berikut:

  1. Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.
  2. Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan.
  3. Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.
     Dalam UU No.22 tahun 2009 tersebut sudah jelas menyebutkan hak bagi pejalan kaki yang seharusnya tidak dilanggar oleh para pengguna kendaraan bermotor. Selain masalah terkait dengan zebra cross, trotoar juga menjadi tempat pelanggaran hak pejalan kaki. Gambar berikut akan secara lebih jelas menunjukkan pernyataan saya:
Trotoar di jalan Stasiun Wonokromo - Surabaya

      Gambar di atas merupakan foto yang saya ambil di sekitar Stasiun Wonokromo. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan perdagangan di Surabaya dengan DTC (Darmo Trade Center) sebagai ikonnya. Selain itu, kawasan ini juga ditunjang dengan prasarana transportasi seperti Stasiun Wonokromo dan Terminal Joyoboyo. Fasilitas penyeberangan pada kawasan ini juga cukup memadai. Sayangnya kawasan sekitar DTC ini juga menjadi salah satu lokasi yang menjadi titik kamacetan terparah di surabaya, terutama pada jam-jam sibuk. Pada gambar tersebut terlihat jelas pelanggaran yang terjadi, trotoar yang seharusnya merupakan jalur pejalan kaki malah digunakan sebagai tempat parkir bagi kendaraan bermotor dan becak. Belum lagi kios-kios pedagang yang menggunakan trotoar seperti miliknya sendiri.
      Diluar dari pelanggaran hak pejalan kaki ini, tidak dapat dipungkiri juga bahwa pejalan kaki itu sendiri juga menjadi pelaku pelanggaran lalu-lintas.

    Pada gambar di atas terlihat ada pejalan kaki yang menyeberang jalan bukan pada jalur pejalan kaki zebra cross. Pelanggaran tersebut terjadi di Jalan Raya Darmo, Kota surabaya. Satu hal yang menjadikan pelanggaran tersebut sebagai "benar-benar pelanggaran" adalah di sekitar jalan ini sudah ada jalur pejalan kaki berupa jembatan penyeberangan orang dan zebra cross, namun mereka lebih memilih untuk menyeberang pada jalan yang bukan jalur pejalan kaki tanpa menghawatirkan keselamatan mereka sendiri. Perilaku seperti ini merupakan perilaku umum orang Indonesia yang tidak tunduk pada hukum yang berlaku. Tindakan acuh seperti ini sudah jelas sangat merugikan, baik diri sendiri maupun orang lain. Marilah kita menjadi individu yang peduli terhadap peraturan yang sebenarnya dibuat untuk menjamin keselamatan kita sendiri dan keselamatan orang lain. Karena kesadaran dari tiap individu akan lebih berarti daripada tindakan aparat penegak hukum.

Pengaturan Lalu-lintas

     Sempat terlintas di pikiran saya tentang parahnya lalu lintas di Kota Surabaya. Kemacetan yang menjadi pemandangan pasti tiap harinya di jalanan Kota Surabaya sudah menjadi ciri khas kota ini. Meskipun tidak separah Ibu Kota, kemacetan di Kota ini sudah tergolong sangat parah. Apalagi pada jam-jam sibuk seperti pada pagi dan sore hari, jalan utama seperti Jalan A. Yani menjadi salah satu lokasi yang selalu mengalami kemacetan parah.
     Dalam kondisi macet seperti ini akan terlihat para polantas mulai mengatur aliran lalu lintas dengan tujuan untuk mengurangi kemacetan. Memang sudah tugas polantas untuk mengatur aliran lalu lintas. Namun, pada akhirnya hal ini malah menghadirkan masalah yang baru seperti penilangan yang terkesan dicari-cari, bahasa sederhananya adalah polisi seringkali mencari alasan agar pengendara bisa ditilang. Polisi ada untuk menegakkan hukum yang berlaku di Indonesia, hal ini sudah jelas karena polisi adalah bagian dari pemerintahan yang memiliki tugas tersebut. Kesimpulan singkat yang dapat diambil adalah lalu-lintas yang ada di Indonesia diatur secara hukum. 
    Dengan melihat keadaan ini kemudian saya mulai berpikir, mengapa pengaturan lalu-lintas harus diserahkan kepada pihak kepolisian sementara secara sistemnya, pihak yang lebih mengerti tentang lalu lintas adalah dinas perhubungan, lebih khususnya dinas perhubungan darat? Ini adalah pertanyaan yang mendasari tulisan saya kali ini.
     Polantas adalah bagian dari Polri yang memiliki kewenangan untuk mengatur lalu-lintas, itu adalah tugasnya. Kejadian menyimpang dari Polantas ini juga menjadi masalah yang akhirnya membudaya di Indonesia. Terlepas dari penilaian bahwa tindakan ini adalah tindakan yang salah, ada juga sisi positif bagi pihak Polantas karena kemudian ditakuti oleh masyarakat. Namun, tak sedikit juga pihak yang terkesan "cari gara-gara" dengan Polantas. Hal ini kemudian menjadi pondasi awal pemikiran masyarakat tentang pihak mana yang sebenarnya memiliki kewenangan dalam pengaturan lalu lintas.
       Polantas juga tidak bisa langsung disalahkan begitu saja karena mereka bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sudah banyak kasus tumpang tindih kewenangan yang terjadi di Indonesia, dan menurut saya ini juga termasuk salah satunya. 
      Dinas perhubungan merupakan pihak yang paling mengerti tentang transportasi baik secara sistemnya maupun hukum. Masalah tumpang tindih kewenangan tidak akan terjadi jika masalah perhubungan secara total dilimpahkan kepada pihak Dinas Perhubungan. Namun, pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara merupakan pelanggaran hukum karena transportasi juga diatur menurut undang-undang mengingat Indonesia adalah negara hukum. Secara otomatis pihak yang mengambil tugas ini adalah Polisi sebagai aparat penegak hukum. Masalah ini bisa secara detail bisa kita lihat dengan jelas ketika kita memisahkan pengaturan lalu-lintas dan penegakkan hukum menjadi dua hal yang berbeda meskipun terkait satu sama lainnya.
picture by: [dishub.dumaikota.go.id]

     Ketika kita berbicara tentang penegakan hukum, kenapa harus ada collector pada sebuah perusahaan pemberi angsuran untuk pembelian kendaraan bermotor? Di awal kesepakatan pembeli kendaraan bermotor dengan pihak perusahaan sudah pasti ada proses yang diatur secara hukum. Pertanyaannya adalah kenapa kasus seperti ini tidak dilimpahkan langsung kepada pihak yang berwenang secara hukum? Dalam hal ini adalah Polisi. Bahkan keadaan seperti ini akan mendatangkan keuntungan baik bagi pihak perusahaan maupun pihak kepolisian. Perusahaan tidak harus mempekerjakan banyak orang untuk menjadi collector sehingga pengeluaran bisa diperkecil, dengan catatan ada persentase tertentu sebagai kompensasi bagi pihak kepolisian. Hal ini tentu saja harus diatur secara kelembagaan kepolisian itu sendiri melalui kesepakatan dengan pihak perusahaan, bukan secara individu. Ini hanya sebatas pemikiran saya saja jika berbicara tentang tugas dari kepolisian. Bukankah sistem kerja yang seperti ini bisa lebih efisien? Lagi pula kepastian yang diperoleh pihak perusahaan akan lebih terjamin. Ini sekedar pemikiran sederhana saja.
      Sementara untuk masalah pengaturan lalu-lintas ada baiknya jika secara utuh diserahkan kepada Dinas Perhubungan. Selama ini Dinas Perhubungan malah mengambil alih tugas dari Dinas P.U. Bina Marga. Pembangunan pra sarana seperti jalan juga sebagian diambil oleh Dinas Perhubungan. Ini adalah hal yang sangat konyol karena mengingat pembangunan segala macam infrastruktur seharusnya merupakan bagian dari tugas Dinas P.U. Bina Marga.
picture by: [pelitariau.com]

      Satu catatan penting mengenai pembagian tugas dari dinas-dinas pemerintahan adalah terkadang menjadi masalah yang malah membudaya di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai hal yang wajar. Namun, tidak ada satupun dari dinas pemerintahan ini yang harus disalahkan karena semuanya melaksanakan tugas yang sudah sesuai dengan pembagian tugas secara sistematis di Indonesia. Kerancuan tugas yang menyebabkan tumpang tindih kewenangan ini hanya akan terselesaikan jika sistem pembagian tugas yang ada di Indonesia dirubah secara total dengan mempertimbangkan segala aspek yang ada, bukan hanya aspek hukum saja.

Thursday, July 9, 2015

Ciri Kehidupan Kota


      Pada postingan sebelumnya telah dibahas tentang peranan kota dengan Jakarta sebagai contoh kota yang memiliki lebih dari satu peranan dalam Negara. Postingan kali ini akan membahas ciri kehidupan kota dengan penjelasan secara detail. Adapun beberapa ciri kehidupan kota yang meliputi kegiatan adalah:

1. Adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi misalnya perbedaan tingkat penghasilan, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.
    Tingkat sosial ekonomi individu yang satu dengan individu yang lain sudah jelas akan berbeda jika jenis pekerjaannya berbeda. Contoh nyata adalah gaji seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan kuli bangunan sudah pasti berbeda.
    Pandangan umum terkait dengan hubungan antara tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan adalah orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki jenis pekerjaan yang lebih baik daripada orang dengan tingkat pendidikan yang rendah. Penjelasan singkatnya, seorang lulusan SMP atau SD tidak mungkin menjadi kepala dinas sebuah kantor pemerintahan atau dosen pada sebuah Universitas. Namun, kondisi seperti ini tidak akan berpengaruh pada industri kreatif seperti pada bidang seni ataupun dunia perdagangan. Singkatnya, seorang pemain musik atau artis tidak harus seorang lulusan perguruan tinggi karena tingkat kreatifitan dan kemampuan pada bidangnya yang menentukan keberhasilannya. Tingkat keberhasilan inilah yang kemudian menjadi penentu tingkat sosial ekonominya.
     Salah satu catatan penting yang harus diingat adalah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Selama kita mencoba, maka akan ada jalan yang terbuka bagi kita.

2. Adanya profesi yang beragam, yang tentunya berdasarkan keahlian masing-masing diantaranya seperti buruh pabrik, pegawai negeri sipil, karyawan swasta, penulis, motivator, dan lain-lain.
     Ciri kedua ini adalah hal yang menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara desa dan kota. Di desa, jenis pekerjaan yang ada tidak akan variatif seperti yang ditawarkan di kota. Hal ini juga menjadi daya tarik bagi masyarakat yang tinggal di desa untuk pindah ke kota. Kita biasa mengenalnya dengan istilah “merantau”. Keragaman profesi yang tersedia di kota secara otomatis akan menyediakan banyak kesempatan kerja bagi orang-orang yang memiliki mimpi untuk bisa sukses.

3. Adanya jarak sosial dan kurangnya toleransi sosial diantara warganya.
    Jarak sosial yang dimaksud pada poin ini adalah kesenjangan taraf hidup yang terjadi pada masyarakat perkotaan. Budaya gotong royong yang dimiliki bangsa Indonesia akan lebih mudah ditemui di desa daripada di kota. Bukan berarti tidak ada budaya gotong royong di kota, hanya saja jarang ditemui. Banyak orang yang berkata “kehidupan di kota sangat keras”. Maksudnya adalah kota menjadi tempat dimana orang cenderung bersaing antara yang satu dengan yang lain dalam segala bidang kehidupan sehingga masyarakat kota akan lebih mementingkan dirinya sendiri tanpa harus peduli dengan orang lain disekitarnya. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di kota akan lebih mementingkan untung-rugi daripada harus berguna bagi orang lain dalam melakukan suatu hal.
    Hal inilah yang menjadikan tiap individu yang ada di tinggal di kota kurang memiliki toleransi sosial antar sesama dan cenderung egois, mementingkan diri sendiri.

4. Adanya keragaman suku yang mendiami sebuah kota, semuanya berkumpul untuk mencapai tujuan yang beragam, seperti bekerja, sekolah, mencari penghidupan baru, dan beragam tujuan lainnya.
   Indonesia adalah Negara yang memiliki beragam suku seperti Bugis, Batak, Dani, Dayak, dan lain sebagainya. Kota memiliki daya tarik bagi beragam suku di Indonesia itu sendiri. Kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau Surabaya memiliki penduduk yang lebih banyak dan lebih beragam dibandingkan di desa. Tiap orang dari berbagai suku yang datang di kota ini dengan tujuan yang berbeda-beda juga. Ada yang datang ke kota dengan tujuan dan alasan yang beragam. Ada yang datang ke kota dengan tujuan untuk sekolah, dengan alasan bahwa kualitas pendidikan yang ditawarkan di kota lebih baik daripada yang ada di desa. Ada juga yang datang dengan tujuan bekerja, dengan alasan bahwa lapangan pekerjaan yang ada di kota lebih banyak daripada di desa. Berbagai macam orang datang dan mendiami sebuah kota memiliki tujuan dan alasan yang juga berbeda-beda. Hal ini menyebabkan masyarakat kota terdiri dari berbagai macam suku yang lebih beragam daripada masyarakat desa.

5. Adanya penilaian yang berbeda-beda terhadap suatu masalah dengan pertimbangan perbedaan kepentingan, situasi, dan kondisi kehidupan.
      Masyarakat kota adalah masyarakat dengan pemikiran yang lebih logis. Pertimbangan dalam mengambil sebuah keputusan didasarkan pada penting atau tidak, untung atau rugi. Situasi dan kondisi kehidupan merupakan pertimbangan utama dalam menilai suatu masalah. Masalah yang tidak berpengaruh pada kehidupannya tidak akan ditanggapi dengan serius.
Pada poin sebelumnya telah dijelaskan bahwa masyarakat kota memiliki tujuan dan alasan yang beragam. Hal ini menjadikan keputusan tiap individu dalam menilai sebuah masalah akan dilihat berdasarkan kepentingannya masing-masing. Ini adalah salah satu tindakan yang mencerminkan segoisme kehidupan masyarakat kota.

6. Adanya persaingan yang tinggi, diakibatkan dari pola urbanisasi penduduk dari desa ke kota untuk meningkatkan taraf hidup sehingga persaingan di kota semakin tinggi serta untuk memenangkan persaingan tersebut menggunakan segala macam cara.
     Pada poin ke-3 sudah saya jelaskan bahwa banyak orang yang berkata bahwa “kehidupan di kota itu sangat keras”. Poin ke-6 ini menjelaskan lebih detail tentang poin ke-3. Upaya tiap individu untuk meningkatkan taraf hidupnya masing-masing membuat mereka harus bersaing dengan individu yang lainnya agar mendapatkan jaminan keberhasilan atas apa yang dilakukannya.

7. Warga kota umumnya sangat menghargai waktu.
     Pemikiran yang logis dari warga kota menjadikan mereka sebagai individu yang tidak akan membuang waktu mereka untuk melakukan hal yang tidak penting. Mereka menjadi orang yang disiplin dalam bertindak. Tiap tindakan yang diambil akan menjadi upaya terkait dengan peningkatan taraf hidupnya. Itulah yang menyebabkan warga kota pada umumnya sangat menghargai waktu. Ada ungkapan lama yang mengatakan “time is money” (waktu adalah uang). Ini mungkin ungkapan yang cocok menggambarkan kehidupan warga kota yang bertindak berdasarkan tindakan yang logis.

8. Cara berpikir dan bertindak warga kota tampak lebih rasional dan berprinsip ekonomi.
     Pada poin-poin yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa warga kota memiliki pemikiran yang logis. Rasionalitas yang didasarkan pada peningkatan taraf hidup ini menjadikan warga kota menggunakan prinsip ekonomi dalam berpikir dan bertindak. Uang memang bukanlah segalanya, namun kehidupan kota yang keras akan menuntut warganya untuk berpikir tentang pemenuhan kebutuhannya yang didasarkan pada kepentingan. Individu yang logis di kota memilki pandangan bahwa manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya jika tidak memiliki uang. Ini adalah pemikiran yang wajar mengingat segala pergerakan di kota memiliki tariff. Salah satu contohnya adalah untuk buang hajat saja ada tarifnya, ada tarif yang dikenakan pada wc atau toilet umum.

9. Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial disebabkan adanya keterbukaan terhadap pengaruh luar.
    Keberagaman suku yang ada dalam masyarakat kota menyebabkan budaya kota menjadi heterogen. Dengan keberagaman suku ini menyebabkan kehidupan kota lebih fleksibel. Artinya bahwa kehidupan masyarakat kota tidak terikat pada satu budaya saja sehingga masyarakat kota dapat menerima pengaruh luar. Hanya pemikiran logis yang digunakan untuk menyaring pengaruh luar ini hingga kemudian dapat diputuskan yang mana yang bisa diikuti dan yang mana yang tidak layak untuk diikuti.

10. Pada umumnya masyarakat kota lebih bersifat individu sedangkan sifat solidaritas dan gotong-royong sudah mulai tidak terasa lagi.
     Penjelasan untuk poin ke-10 ini sudah cukup terjelaskan pada poin ke-3. Budaya gotong royong yang kental terasa di desa akan sangat jarang ditemukan di kota. Persaingan dalam meningkatkan taraf hidup menyebabkan kehidupan masyarakat lebih bersifat individu dan cenderung tidak peduli dengan individu yang lain.