Mayarakat
kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia , karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat
yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat. Mengakibatkan adanya
kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya
persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan
pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan
nasional bangsa. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan
ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka
orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
picture's by: Balleck S |
Perkembangan globalisasi kebudayaan ini
secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media
menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa.
Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal
ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.Secara
detail, pengaruh negatif dari globalisasi dan modernisasi dalam aspek sosial
budaya dijelaskan dalam poin-poin berikut:
1. Kejutan budaya (culture
shock)
Bangsa barat dikenal
sebagai bangsa yang dominan di dunia karena lebih maju daripada bangsa-bangsa
lainnya. Meskipun saya tidak sepenuhnya setuju, namun seperti itulah anggapan
masyarakat dunia secara umum. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada
postingan [pengertian globalisasi] bahwa
globalisasi merubah cara hidup dengan wawasan nasional menuju pada cara hidup
dengan wawasan global. Budaya masyarakat yang tradisional dan mengedepankan
etika perlahan mulai pudar digantikan oleh budaya barat yang dominan dan lebih
mengedepankan gaya hidup.
Culture
shock
atau dalam bahasa Indonesia “kejutan budaya” adalah sebuah proses dimana
seseorang akan merasa terkejut dengan budaya yang berbeda dengan budaya yang
dikenalnya sejak lahir, biasanya dialami oleh orang-orang yang sulit
beradaptasi dengan hal-hal baru. Istilah culture
shock
menjadi lebih sering terdengar setelah terjadinya proses globalisasi dan
modernisasi. Sebelumnya, culture shock ini
adalah masalah yang dialami oleh orang-orang yang melakukan perjalanan keluar
negeri karena harus menyesuaikan diri dengan budaya yang baru di Negara yang
baru didatanginya. Namun, globalisasi dan modernisasi ini membuat budaya-budaya
barat yang dominan di dunia menyebar dengan pesat ke Negara-negara lainnya
termasuk Indonesia. Hal ini membuat kita sebagai masyarakat Indonesia malah
harus menyesuaikan diri untuk lebih terbuka dengan budaya-budaya barat yang
masuk di Indonesia.
Dalam buku “Kamus IPS”
karangan Eko Sujatmiko (2014), kesenjangan budaya adalah perbedaan taraf
kemajuan diantara berbagai bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya ketinggalan budaya antara masyarakat satu
dengan lainnya. Salah satu penyebab utama kesenjangan budaya ini adalah kejutan
budaya yang telah saya jelaskan pada poin pertama. Individu yang mampu
menyesuaikan diri dengan budaya luar secara otomatis akan mampu hidup dengan
budaya yang lebih maju dibandingkan dengan individu yang memiliki kemampuan
minim untuk beradaptasi dengan budaya luar yang dibawa oleh proses globalisasi
dan modernisasi. Dengan demikian, sudah pasti akan tercipta jarak antara
individu yang mampu beradaptasi dan individu yang tidak mampu beradaptasi
dengan budaya luar.
3. Kehilangan jati diri bangsa
Indonesia adalah Negara
merdeka dengan jati dirinya sebagai sebuah bangsa dengan dasar pancasila. Ini
adalah kebanggaan yang seharusnya dijaga dan dipertahankan. Namun, pengaruh
budaya barat di Indonesia yang “tidak tanggung-tanggung” di era globalisasi ini
menyebabkan pola hidup masyarakat modern lebih menyesuaikan diri dan berubah
mengikuti budaya barat daripada mempertahankan budaya bangsanya sendiri.
Kebudayaan barat yang lebih mengedepankan gaya hidup (lifestyle) ternyata lebih berpengaruh bagi generasi
muda daripada kebudayaan asli Indonesia. Akhirnya, budaya-budaya tradisional
kita akan tergeser oleh budaya Negara lain dan yang lebih parah lagi akan
menyebabkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal.
Salah satu contoh yang
barangkali bisa diperhatikan adalah bahasa yang digunakan. Berbagai macam
istilah dalam bahasa Indonesia pada saat ini mungkin akan lebih sulit
dijelaskan oleh generasi muda Indonesia daripada istilah-istilah dalam bahasa
inggris yang merupakan bahasa internasional. Hal ini bisa saja dipandang
sebagai kemajuan oleh sebagian orang. Namun, akan konyol jadinya jika melihat
kenyataan yang ada saat ini. Sebagian besar generasi muda Indonesia yang sering
menggunakan istilah-istilah sukar dalam bahasa inggris ini tidak mampu menjawab
jika ditanya pengertian ataupun maksud dari istilah yang digunakannya. Bahkan
ada sebagian lagi yang dengan percaya diri menjelaskan pengertian dari istilah
yang digunakannya secara detail namun salah. Sudah jelas bahwa orang-orang
seperti ini adalah orang-orang yang pada akhirnya akan terombang-ambing di
tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi.
4. Pragmatis dan serba
Instan
Pengertian pragmatis dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bersifat praktis dan berguna bagi
umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan);
mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis. Pada dasarnya, pragmatis
adalah tindakan yang menggunakan pendekatan praktis. Singkatnya,
menyederhanakan suatu masalah dengan orientasi pada tujuan dan keuntungan. Permasalahan
yang seharusnya diselesaikan melalui proses yang bertahap malah diselesaikan
dengan cara singkat mengambil jalan pintas. Pada akhirnya, hasil yang diperoleh
tidak akan bertahan dalam waktu lama.
Kajian lebih dalam
mengenai pragmatis ini menunjukkan bahwa sikap pragmatis selalu mementingkan
untung rugi bagi individu itu sendiri. Hal ini tentu saja bertolak belakang
dengan nilai-nilai sosial dimana individu yang satu harus saling membantu
dengan individu yang lain tanpa mementingkan keuntungan ataupun kerugian.
Apalagi Indonesia, negara dengan budaya gotong royong yang dipertahankan turun-temurun
sejak dulu.
5. Individualis
Poin sebelumnya yang
membahas tentang pragmatis sudah sedikit menjelaskan poin ini. Masyarakat yang
hidup di tengah globalisasi dan modernisasi ini cenderung mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian bagi dirinya sendiri. Setiap tindakan yang dilakukan
oleh tiap individu selalu berdasarkan kepentingannya sendiri. Bahkan, jika hal
itu terlihat dilakukan bagi kepentingan banyak orang, tetap saja ada hal lain
yang menjadi dasar tindakannya, tentunya dipertimbangkan keuntungan bagi
dirinya sendiri juga.
Tiap orang bertindak
tanpa mementingkan orang lain. Selama tindakan yang dilakukan berguna bagi
dirinya sendiri maka tidak penting apa pengaruhnya bagi orang lain. Masalah
orang lain adalah masalah orang lain, masalah kita adalah masalah kita sendiri.
Orang lain harus mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan kita.
Kurang lebih seperti itulah maksud dari poin ini.
6. Materialistis
Pada postingan sebelumnya,
saya pernah menulis tentang [ciri kehidupan kota]. Masyarakat perkotaan adalah wujud nyata
pengaruh globalisasi dan modernisasi. Salah satu ciri kehidupan masyarakat di
perkotaan yaitu cara berpikir dan bertindak warga kota lebih rasional dan
berprinsip ekonomi. Globalisasi menuntun masyarakat untuk hidup dalam
persaingan bebas tanpa batasan, secara otomatis maka hukum rimba yang akhirnya
digunakan. “Yang kuat yang bertahan”. Kekuatan yang dimaksud dalam kehidupan
perkotaan adalah uang yang membuat tiap individu mampu bertahan dalam kehidupan
perkotaan. Ini adalah landasan utama masyarakat kota akan cenderung
materialistis karena kemampuan bertahan di kota akan berbading lurus degan
kondisi keuangan individu itu sendiri.
Sebenarnya
masih banyak pengaruh negatif globalisasi dan modernisasi dalam aspek sosial
budaya jika anda mampu mengamatinya dengan teliti. Namun, secara garis besar
tidak akan menyimpang dari 6 poin yang telah saya jelaskan di atas.
No comments:
Post a Comment